Serbuan Mobil Listrik China: Ancaman Serius bagi Merek Otomotif Barat, Kata Bos VolvoSerbuan Mobil Listrik China: Ancaman Serius bagi Merek Otomotif Barat, Kata Bos Volvo
0 0
Read Time:4 Minute, 13 Second

Serbuan mobil listrik China mengancam merek otomotif Barat dengan harga murah dan inovasi cepat. Håkan Samuelsson, Chairman Volvo, prediksi dominasi China dalam dekade mendatang, apa dampaknya bagi industri global? Håkan Samuelsson, Chairman Volvo Cars, memperingatkan bahwa mobil listrik China bisa menghancurkan merek-merek otomotif Barat yang lambat beradaptasi.

Baca juga: Yamaha Nmax Dilelang Mulai Rp 15 Jutaan, Kondisi Masih Mulus

Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara eksklusif pada September 2025 di markas Volvo, Swedia. Mengapa ini penting? Karena elektrifikasi kendaraan tak terelakkan, dan China siap mendominasi pasar global. Bagaimana dampaknya? Samuelsson prediksi hampir semua mobil akan beralih ke listrik dalam 10 tahun, dengan harga semakin terjangkau, memaksa merek Barat seperti Ford atau Volkswagen berjuang bertahan atau lenyap.

Ancaman Serbuan Mobil Listrik China: Dominasi Baru di Pasar Global

Serbuan mobil listrik China menjadi topik hangat di industri otomotif. Håkan Samuelsson menekankan bahwa produsen China tak hanya murah, tapi juga inovatif. Mereka masuki pasar Eropa dengan cepat, tawarkan kendaraan listrik (EV) berkualitas tinggi seperti BYD dan NIO. Samuelsson bilang, “Akan muncul pemain dominan baru, persis seperti Ford, GM, Toyota, dan Volkswagen di era lama.” Ini artinya, China siap gantikan raksasa Barat jika tak ada adaptasi.

Fakta menunjukkan China kuasai 60% produksi baterai global pada 2025, menurut data IEA. Harga EV China rata-rata 20-30% lebih rendah daripada kompetitor Eropa atau Amerika. Serbuan ini tak terhentikan, karena pemerintah China dorong ekspor dengan subsidi besar. Bagi merek Barat, ini jadi alarm: tanpa inovasi cepat, mereka bisa kehilangan pangsa pasar. Samuelsson tambahkan, mobil listrik China bukan ancaman sementara, tapi pergeseran struktural industri.

Peringatan Samuelsson: Merek Barat Bisa Lenyap Jika Lambat

Håkan Samuelsson, yang pimpin Volvo sejak 2012, tak ragu sebut mobil listrik China sebagai “pembunuh senyap” bagi merek Barat. Ia prediksi, dalam dekade mendatang, hampir semua mobil akan listrik dan terjangkau. “Beberapa produsen tradisional akan lenyap atau hancur jika gagal mengikuti perkembangan terkait mobil listrik,” tegasnya. Ini bukan omong kosong; Volvo sendiri rasakan tekanan itu, meski punya keunggulan.

Sejarah industri otomotif tunjukkan pola serupa: Ford dan GM pernah dominasi, tapi Toyota dan Volkswagen bangkit lewat adaptasi. Kini, China ikuti jejak itu. Samuelsson soroti bahwa merek Barat sering terjebak birokrasi, sementara China gerak lincah. Contoh: BYD jual lebih dari 3 juta EV pada 2024, naik 62% dari tahun sebelumnya. Mobil listrik China ini paksa merek Barat seperti BMW atau Mercedes tingkatkan R&D, tapi biaya tinggi jadi hambatan.

Strategi Volvo Hadapi Serbuan Mobil Listrik China

Volvo tak tinggal diam hadapi serbuan mobil listrik China. Sebagai bagian dari Geely Holding—perusahaan China yang juga miliki Lotus, Zeekr, Polestar, dan Lynk & Co—Volvo punya akses teknologi canggih. Samuelsson sebut hubungan ini jadi “senjata rahasia”. Volvo ekspansi produksi battery electric vehicle (BEV) dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) untuk jembatani transisi.

Baca juga: Fitur dan Varian Mitsubishi Destinator: SUV Premium Mulai Rp 385 Juta

Pada 2025, Volvo rencanakan 50% penjualan EV murni. Model seperti EX30 dan XC40 Recharge jadi andalan, dengan jangkauan 400-500 km per charge. Fakta: Volvo capai target 1,2 juta unit EV terjual global hingga akhir 2024. Geely bantu Volvo akses rantai pasok baterai murah, kurangi ketergantungan impor. Samuelsson optimis, “Kami siap saingi siapa saja, termasuk saudara dari China.” Strategi ini buat Volvo selamat dari mobil listrik China, malah jadi pemain hybrid Barat-China.

Dampak Global Serbuan Mobil Listrik China terhadap Industri Otomotif

Serbuan mobil listrik China tak hanya ancam Eropa, tapi juga Amerika dan Asia Tenggara. Di AS, tarif impor 100% pada EV China lindungi Tesla dan GM, tapi Samuelsson sebut itu tak cukup. Di Eropa, penjualan BYD naik 300% pada 2024, rebut pangsa Volkswagen. Dampaknya? Ribuan pekerjaan hilang di pabrik konvensional, dan merek kecil seperti Fiat atau Renault terdesak.

Data McKinsey tunjukkan, pada 2030, China kuasai 40% pasar EV global, naik dari 25% saat ini. Ini paksa merek Barat kolaborasi atau akuisisi, seperti Stellantis rencanakan joint venture dengan Leapmotor. Samuelsson ingatkan, “Elektrifikasi tak bisa dihindari; harga EV akan turun 50% dalam 5 tahun.” Serbuan mobil listrik China ini jadi katalisator perubahan, tapi juga risiko kehancuran bagi yang ketinggalan.

Tantangan dan Peluang di Tengah Serbuan Mobil Listrik China

Meski ancam hancurkan merek Barat, serbuan mobil listrik China buka peluang. Konsumen untung harga murah dan fitur canggih seperti autonomous driving. Bagi merek Barat, tantangannya adalah bangun infrastruktur charging—Volvo investasi €1,5 miliar untuk jaringan fast charger di Eropa. Samuelsson sebut, PHEV jadi solusi sementara hingga infrastruktur matang.

Di Indonesia, serbuan ini rasakan lewat merek seperti Wuling dan MG yang kuasai segmen EV entry-level. Pemerintah dorong lokal konten 40% untuk EV impor. Fakta: Penjualan EV di Indonesia naik 200% pada 2024, mayoritas dari China. Ini jadi pelajaran bagi merek Barat: adaptasi atau tersingkir.

Penutup

Singkatnya, serbuan mobil listrik China jadi badai bagi merek otomotif Barat, seperti prediksi Håkan Samuelsson dari Volvo. Dominasi China dalam EV murah dan inovatif bisa lenyapkan pemain lambat, tapi buka era kendaraan ramah lingkungan. Ke depan, merek Barat harus percepat elektrifikasi untuk bertahan—seperti Volvo yang manfaatkan ikatan dengan Geely. Seperti kata Samuelsson, “Pemain baru akan muncul, dan yang lama harus berevolusi.” Pantau tren ini untuk update industri otomotif global.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %